Benarkah Ajaran Trilogi Tauhid Bagian dari Aswaja

Dalam agama, tauhid menjadi salah satu sub pokok yang harus dimiliki. Karena pada hakikatnya, agama adalah peraturan ketuhanan yang menjadi tuntunan bagi umatnya untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin. Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dengan sumber pokok yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits. Adapun ijma’ dan qiyas menjadi sumber pendukung dalam penafsiran dan pentakwilan al-Qur’an atau hadits tersebut.

Pada abad ke-7 H ada seseorang yang mengemukakan pembagian tauhid menjadi beberapa bagian. Sebenarnya sebelum abad ke-7, istilah nama tauhid sudah tersebar luas dikalangan masyarakat, namun tidak sampai terintegrasi secara pasti. Pembagian tauhid tersebut tidak lain adalah tauhid uluhiyah, rububiyah dan al-asma wa ash-shifat. Yang digadang-gadang menjadi konsep utama tauhid orang wahabi di zaman sekarang.

Kreasi pembagian trinitas tauhid uluhiyah, rububiyah dan al-asma wa ash-shifat dikemukakan pertama kali oleh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sendiri adalah sosok orang yang sangat luar biasa. Bahkan salah satu Ulama Hadits mengakui kehebatannya, yaitui Al-Hafidz Waliyuddin Al-‘Iroqi dalam salah satu kitabnya menyebutkan علمه أكبر من عقله ilmu dia lebih besar dari akalnya.

Sehingga dari keilmuan yang dia miliki sangat tinggi, sampai ada beberapa konsep konsep yang menyalahi aturan ijma’ ulama. Al-Hafidz juga menyebutkan bahwa konsep konsep yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah menyalahi aturan ijma’ para ulama di beberapa masalah, baik dalam masalah usul maupun furu’. Salah satu konsep usul yang menyalahi ijma’ ulama adalah konsep jismiyah dzat Allah. Dia berpendapat bahwa “Allah butuh kepada juz tidaklah mustahil”.

Dengan beberapa kreasi konsep konsep itulah Ibnu Taimiyah mengklaim seseorang kafir hanya karena tidak sejalan dengannya. Contohnya seperti tawassul dan tabarruk kepada para nabi atau dengan orang shaleh. Alasannya karena dia menganggap mereka tidak paham konsep tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah tauhid yang berisi tentang mengesakan Allah dalam setiap ibadah.

Sedangkan tauhid rububiyah adalah pengakuan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Jadi, hanya karena seseorang bertawassul, dia akan keluar dari tauhid uluhiyah yang seakan-akan menyembah selain Allah. Tauhid yang terakhir tauhid al-asma wa ash-shifat, yang berisi tentang pengesaan Allah dalam sifat-sifatNya yang dikemukakan untuk narasi teks-teks mutasyabihat baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang tidak boleh ditakwil.

Kreasi pembagian trinitas Ibnu Taimiyah diikuti sepenuhnya oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang sekaligus pencetus nama Wahabi (Wahabiyah). Tidak hanya itu, Muhammad bin Abdul Wahhab menghidupkan kontroversi dan faham faham yang lebih ekstrim. Orang orang yang mengikuti mereka disebut dengan golongan at-Taimiyyun, dan Wahhabiyyah.

Abdul Razaq bin Abdil Muhsin Al-Badr mengatakan “Tauhid terbagi menjadi 3 bagian: Tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid al-asma wa ash-shifat. Atau terbagi menjadi 2 bagian: Tauhid ma’rifat dan istbat yakni tauhid rububiyah, tauhid al-asma wa ash-shifat, tauhid iradah dan thalab yakni tauhid uluhiyah”.

Karena adanya disintegrasi pendapat Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan para ulama ulama terdahulu, banyak ulama yang semasa maupun ulama setelahnya yang memberikan komentar atas kesesatan mereka. Salah satu ulama yang terkenal pada masanya dan memberika komentar ialah Al-Hafidz Ibnu Hajar, ia menulis dalam salah satu kitabnya bahwa para ulama ulama yang lain menyebut Ibnu Taimiyah dengan 3 sebutan yaitu, mujassim, zindiq dan munafiq.

Salah satu bukti tulisan Ibnu Taimiyah membagi tauhid menjadi 3 bagian terbukti dalam kitab Majum’ Fatawa, ia menuliskan:
فإن المقصود هنا بيان حال العبد المحض لله تعالى الذي يعبده ويستعينه، ويحقق قوله (إياك نعبد وإياك نستعين)، توحيد الألوهية وتوحيد الربوبية وإن كانت الإلهية تتضمن الربوبية والربوبية تستلزم الإلهية فإن أحدهما إذا تضمن الآخر عند الإنفراد لم يمنع أن يختص بمعناه عند الإقتران.
Artinya: maka sesungguhnya yang dimaksud di sini adalah penjelasan keadaan seorang hamba yang murni hanya kepada Allah ia menyembah, hanya beribadah dan meminta tolong kepada-Nya, dan merealisasikan firman-Nya: “Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in”. Sekalipun uluhiyyah mencakup rububiyyah (at-tadlammun), dan Rububiyyah mengharuskan uluhiyyah (al-Iltizam)”, namun ketika keduanya dipisahkan maka tetap saja setiap satu dari keduanya akan saling mencakup makna yang lain, demikian pula bila keduanya disatukan tetap saja setiap satu dari keduanya dengan makna masing-masing.

Secara dzahir pembagian tauhid tersebut tidak ada masalah. Namun, seperti yang sudah disebutkan bahwa tidak ada ulama Ahlussunah Waljama’ah dari dulu hingga sekarang yang membagi tauhid seperti itu. Bahkan dalam al-Qur’an dan hadits pun tidak ditemukan dalil yang spesifik maupun global.

Syaikh Muhammad al-Arobi at-Tabban membantah adanya pembagian tiga tauhid itu. Salah satu isi bantahan beliau bahwa Imam Ahmad ibn Hambal dan para pengikutnya tidak pernah menetapkan pembagian tauhid. Kenapa Imam Ahmad ibn Hambal yang jadi ucuan utama? Karena Ibnu Taimiyah mengaku atau menisbatkan bahwa dia bermadzhab Hambali.

Kesimpulan akhir bahwa tauhid uluhiyah, rububiyah dan al-asma wa ash-shifat bukan keyakinan ulama Ahlussunah Waljama’ah, karena tidak ada dari ulama ulama Ahlussunah Waljama’ah yang pernah membagi tauhid seperti itu dari zaman dulu sampai sekarang. Bahkan tidak ada satupun ayat al-Qur’an dan hadits yang membahas pembagian tauhid secara spesifik maupun global.

https://www.kpmliterasi.com/khazanah/benarkah-ajaran-trilogi-tauhid-bagian-dari-aswaja/amp/
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama